Thursday, April 26, 2012

Studi Kasus "Illegal Fishing di Aceh"

Lima Kapal Ikan Thailand Ditangkap di Belawan
Nasional | Jumat, 30 Maret 2012 18:45 WIB 
 
Metrotvnews.com, Medan: Lima kapal ikan asal Thailand ditangkap petugas patroli Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di perairan timur Aceh. "Sebanyak 50 awak kapal diamankan guna penyelidikan," kata Kepala PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Stasiun Belawan, Mukhtar di Medan, Jumat (30/3).

Kelima kapal disergap saat menangkap ikan secara ilegal atau "illegal fishing" di sekitar 25 mil dari Kecamatan Tanah Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Kapal ditangkap karena tak mengantongi izin.
Kapal ikan Thailand yang diamankan di Belawan, yaitu bernama Khanom Cun-2 dengan diawaki Anak Buah Kapal (ABK) sebanyak 11 orang dan Kyaw Sin-23 dengan ABK sembilan 9 orang, Khanom Cun-4 diawaki 11 ABK.

Selanjutnya, kapal Kyaw Sib-12 dengan ABK sebanyak 11 orang dan kapal Kyaw Sin-9 dengan ABK sebanyak 10 orang.

"Illegal fishing" yang dilakukan lima kapal ikan Thailand di WPP NKRI tersebut merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Selain menahan lima unit kapal dan awaknya, pihak PSDKP Belawan juga menyita puluhan ton ikan hasil "illegal fishing" yang dilakukan kapal ikan asing itu.
"Seluruh ikan yang terdapat di dalam kapal tersebut segera kami lelang, karena kalau terlalu lama bisa membusuk," ujar Mukhtar.

Namun dia tidak merinci total volume dan total transaksi hasil lelang ikan tersebut. Untuk proses pemeriksaan lebih lanjut, pihaknya akan segera melimpahkan kasus "illegal fishing berikut seluruh barang bukti kepada Kejaksaan Negeri Belawan.
Dia menambahkan, KKP melalui PSDKP terus berupaya melakukan pengawasan terhadap perairan laut Indonesia dengan meningkatkan pengawasan guna meminimalisir aksi pencurian ikan dan biota laut lainnya.

PSDKP juga akan terus meningkatkan koordinasi dengan lintas penegak hukum di laut melalui peningkatan koordinasi pelaksanaan operasi, di antaranya dengan Bakorkamla, TNI-AL, Polair dan TNI-AU.(Ant/ICH)

FAKTOR PENYEBAB MARAKNYA ILLEGAL FISHING

Saat ini Illegal Fishing di Indonesia masih belum bisa 100% diberantas. Meskipun sudah ada Undang-Undang yang mengatur tentang perikanan dan segala tindak pidananya bagi yang melanggar, para pelaku illegal fishing masih terus melanjukan aksinya. Jika ditinjau kembali, ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu tejadi.

Salah satu diantaranya adalah kurang jelas dan tegasnya isi dari UU nomor 31 Tahun 2004 yang mengatur tentang Perikanan. Dapat dilihat pada Pasal 8 dan 9 dimana pelanggaran alat tangkap dan fishing ground hanya dimasukkan dalam kategori pelanggaran dengan denda hanya Rp 250 juta. Hal semacam itu, seharusnya masuk kategori pidana dengan sanksi lebih berat. Penguatan aspek legal itu terkait dengan tingginya tingkat pencurian ikan di perairan Indonesia oleh kapal-kapal asing.

 Beberapa pasal yang dianggap “abu-abu” menyangkut pidana dan pelanggran pada penggunaan alat tangkap dari UU Perikanan seperti pasal 85 dan 100. Pasal 29 dan 30 tentang Perikanan kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut. Dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan tersebut disebutkan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI hanya boleh dilakukan oleh warga negara RI atau badan hukum Indonesia. Sementara dalam ayat (2) disebutkan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara RI berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Pasal 29 UU Perikanan tersebut dapat menimbulkan persaingan internal (perang) antar para nelayan Indonesia sendiri, karena semakin sedikitnya wilayah mereka untuk mencari ikan.
Selain faktor perundang-undangan, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan para pelaku Ilegal Fishing terus beraksi. Diantaranya :

  1. Minimnya sarana, prasarana dan biaya operasional penyidik perikanan  dalam menangani kasus-kasus illegal fishing.
  2. Tidak adanya dermaga yang disediakan khusus untuk tambat labuh Kapal Ikan Asing yang ditangkap, sehingga mereka ditempatkan di dermaga Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang ada sehingga mempengaruhi aktivitas rutin pangkalan/dermaga tersebut.
  3. Belum tersedianya tempat yang secara khusus untuk menampung Anak Buah Kapal asing non yustisia selama menunggu pelaksanaan deportasi, sehingga mereka ditempatkan di lokasi yang terbuka dan kondisi ini dapat mengakibatkan larinya mereka karena sulitnya pengawasan.
  4. Lamanya penahanan Anak Buah Kapal asing menimbulkan masalah sosial di kalangan masyarakat setempat dan petugas, seperti kekhawatiran akan terjangkitnya penyakit berbahaya yang dapat ditularkan oleh mereka
  5. Daerah tidak memiliki dana yang cukup untuk biaya jatah hidup mereka selama penahanan dan tidak memiliki biaya untuk mendeportasikan mereka asing ke negara asal.
  6. Pelaksanaan deportasi Anak Buah Kapal warga negara asing sampai saat ini belum sepenuhnya dilakukan oleh kantor Imigrasi selaku instansi yang berwenang, sehingga menjadi tanggung jawab instansi yang menangani kasus (Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Kalbar, LANAL pontianak POL AIR POLDA Kalbar dan PPN Pemangkat).

 
Signal berupa rambu hukum yang ada ternyata tidak menyurutkan langkah pelaku illegal fishing dan berusaha menghindari jeratan hukum dan segera menerbitkan perturan yang dapat dipedomani dalam penyelesaian masalah yang bersinggungan dengan illegal fishing. Oleh karena itu perlu bagi pemerintah untuk merubah isi undang-undang perikanan tersebut dan mulai menetapkan hukum yang tegas agar para nelayan Indonesia tidak menderita.


Dampak Perikanan Ilegal

Maraknya perikanan ilegal di perairan Indonesia berdampak terhadap stok ikan nasional dan global. Hal ini juga menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia.

Sedikitnya terdapat sepuluh masalah pokok dari aktivitas perikanan ilegal yang telah memberi dampak serius bagi Indonesia:

Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah  (misreported), atau laporannya di bawah standar (under reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional dan global. Hal ini dapat dikategorikan melakukan praktek IUU fishing. Dengan kata lain, jika pemerintah Indonesia tidak serius untuk mengantisipasi dan mereduksi kegiatan IUU diperairan Indonesia, maka dengan sendirinya Indonesia “terkesan” memfasilitasi kegiatan IUU, dan terbuka kemungkinan untuk mendapat sanksi internasional.
Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB). Disamping juga mendorong hilangnya rente sumberdaya perikanan yang seharusnya dinikmati oleh Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari praktek perikanan ilegal mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan harga ikan ilegal berkisar antara US$ 1.000-2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 2-4 juta ton ikan. Perhitungan lain menyebutkan, bahwa total kerugian negara akibat perikanan ilegal mencapai US$ 1,924 miliar per tahun. Angka ini terdiri dari pelanggaran daerah operasi sebesar US$ 537,75 juta; dokumen palsu US$ 142,5 juta kapal tanpa dokumen atau liar US$ 1,2 juta dan penggunaan ABK asing US$ 780 juta.

Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda nelayan untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan ikan.

Keempat, perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan penerimaan uang pandu pelabuhan. Karena kapal penangkapan ikan ilegal umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional dari sektor perikanan.
Kelima, perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah.

Keenam, baik secara langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan ilegal memilikib hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya potensi sumberdaya ikan akibat aktivitas perikanan ilegal. Apabila potensi ikan yang dicuri dapat dijala oleh armada perikanan nasional, maka sedikitnya dapat menjamin bahan baku yang cukup bagi industri pengolahan hasil perikanan, misalnya pengalengan tuna. Pada umumnya ikan yang dicuri dari perairan Indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis besar lainnya. Jika setiap industri pengalengan ikan tuna memerlukan bahan baku minimal 80-100 ton per hari atau sekitar 28.000-36.000 ton per tahun, maka ikan yang dicuri tersebut sedikitnya dapat menghidupi 42 industri pengalengan ikan tuna nasional.
Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat hilangnya nilai dari kawasan pantai, misalnya udang yang dekat ke wilayah penangkapan ikan pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusak oleh perikanan ilegal. Selanjutnya akan berdampak pada pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pantai.

Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu perikanan illegal juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan.

Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan, yang merupakan sumber protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak pada rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan.
Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative pada isu kesetaraan gender dalam penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa istri nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitasb penangkapan ikan di pantai dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil perikanan.


Upaya Pemerintah dalam menangani Illegal Fishing:

a.       Menerapkan teknologi VMS (Vessel Monitoring System), yaitu sistem pengawasan kapal yang berbasis satelit. VMS digunakan untuk memonitor gerak kapal yang menyangkut posisi kapal, kecepatan kapal, jalur lintasan (tracking) kapal serta waktu terjadinya pelanggaran. Untuk mengimplementasikan VMS telah dibangun Fishing Monitoring Center (FMC) di kantor pusat Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Regional Monitoring Center (RMC) di daerah Ambon dan Batam.

b.       Pengawasan perikanan dilaksanakan oleh Pengawas Perikanan yang bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Pengawas Perikanan terdiri atas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan dan non PPNS Perikanan. Adapun yang dimaksud dengan non PPNS Perikanan adalah Pegawai Negeri Sipil lainnya di bidang perikanan yang bukan penyidik, tetapi diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan.

c.       Untuk pengawasan langsung di lapangan terhadap kapal-kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan kapal-kapal patroli, baik yang dimiliki oleh Departemen Kelautan dan Perikanan maupun bekerjasama dengan TNI Angkatan Laut, Polisi Air, dan TNI Angkatan Udara.

d.   Dengan membentuk Pokmawas (Kelompok Masyarakat Pengawas), yaitu pelaksana pengawas di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan-nelayan ikan, serta masyarakat kelautan dan perikanan lainnya. Kinerja Pokmawas hanya sekadar melaporkan segala tindak pelanggaran yang dilakukan di perairan Indonesia.