KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pemurah,
karena berkat kemurahan-Nya lah makalah ini dapat saya selesaikan tepat
pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “Pancasila sebagai
Hak Asasi
Manusia”, suatu bahasan yang sudah banyak diperbincangkan di masyarakat, namun
terkadang masih banyak yang belum memahami secara mendasar apakah Hak Asasi
Manusia (HAM) iu sendiri ?
Makalah ini
dibuat dalam rangka memperdalam
pemahaman tentang Hak Asasi Manusia dan sekaligus menjadi tugas mahasiswa
dalam mata kuliah “Kewarganegaraan”
Dalam proses penyelesaian makalah ini saya
berterimakasih kepada orang-orang yang telah membantu saya yaitu :
1.
Bpk Taufiq
Yulianto, selaku dosen mata kuliah “Pancasila”
2.
Rekan
- rekan mahasiwa, karena telah banyak
memberikan masukan untuk makalah
ini.
3.
Orang
tua yang selalu mendoakan yang terbaik untuk semua yang kami kerjakan.
Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap
individu terlahir ke dunia ini memiliki seperangkat hak-hak yang merupakan
karunia Tuhan yang diberikan secara otomatis dimiliki oleh individu tersebut
ketika ia terlahir ke dunia ini. Hal ini sifatnya sangat mendasar dan
fundamental bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati, yang
tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Dalam
pengkajian tentang hak-hak asasi manusia, sejarah hak asasi manusia dimulai di
Inggris dengan lahirnya Magna Charta
(1215), yaitu perlindungan tentang kaum bangsawan dan gereja. Pada tahun 1776
di Amerika Serikat terdapat Declaration
of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) yang di dalamnya memuat hak asasi
manusia dan hak asasi warga Negara. Perkembangan selanjutnya adalah setelah
Revolusi Perancis, di Perancis tuntutan tentang hak-hak asasi warga Negara dengan
semboyannya kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan.
Pada abad
ke-20 perkembangan lebih lanjut hak-hak asasi manusia tidak sekadar terbatas
pada persamaan hak, hak atas kebebasan dan hak pilih saja, tetapi meluas dan
berkembang meliputi bidang ekonomi (kesejahteraan) dan sosial budaya. Di
Amerika Serikat sewaktu Presiden Roosevelt dikenal dengan kebebasan yaitu kebebasan berbicara, kebebasan memeluk agama, kebebasan
dari rasa ketakutan dan kebebasan berkeinginan.
Setelah Perang
Dunia II peristiwa yang penting dalam perkembangan hak-hak asasi manusia,
adalah paham demokrasi (dari, oleh, untuk) rakyat dan peristiwa penting
diakuinya hak-hak asasi manusia secara umum (universal), yaitu lahirnya “Universal Declaration of Human Rights”
sebagai pernyataan umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, pada tangggal 10
Desember 1948 dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris,
yang memuat 30 pasal tentang hak-hak asasi manusia.
Para pendiri
Negara telah menyadari bahwa dengan hak fundamental yang dimiliki setiap
manusia dan juga bangsa menjadikan manusia memiliki martabat serta derajat yang
tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Demikian pula bangsa Indonesia
dapat berdiri sebagai negara yang merdeka dan bermartabat seperti bangsa-bangsa
merdeka lainnya di dunia. Itulah sehinga materi yang berkenaan dengan HAM oleh
pendiri negara telah diinkorporasikan dalam perumusan Pancasila dan UUD 1945.
Dimasukkannya materi HAM di dalam UUD 1945 telah membawa konsekuensi bahwa HAM
telah merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh hukum.
Pancasila baik
sebagai dasar Negara maupun sebagai ideologi bangsa banyak mendapat sorotan.
Pada tatanan faktual misalnya selalu digeneralisasi bahwa adanya
penyimpangan-penyimpangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, pelanggaran HAM dan bentuk lainnya seperti KKN,
dianggap sebagai bukti ketidakberdayaan ideology Pancasila dalam mengatasi
berbagai masalah bangsa yang timbul dalam era reformasi sekarang dan pengaruh
kehidupan global. Pancasila juga mendapat sorotan dari para penulis dari
berbagai disiplin ilmu. Meskipun demikian, pada dasarnya semua menyadari bahwa
Pancasila memuat sejumlah nilai dasar (sistem nilai universal) yang melandasi
HAM dan tidak dapat dipisahkan dari cita rakyat Indonesia. Pancasila tidak
dapat dipisahkan dengan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional.
Masalah HAM
adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era
reformasi ini. Dalam pemenuhan tentang HAM ini, kita harus ingat bahwa kita
sebagai makhluk sosial tidak dapat menghindari untuk bersentuhan atau
bersinggungan dengan kepentingan orang lain. Jangan sampai untuk memenuhi HAM
pribadi masing – masing, orang sampai melakukan pelanggaran terhadap HAM orang
lain. Karena itulah penulis tertarik untuk membahas tentang Hak Asasi Manusia.
1.2 Permasalahan
1.2.1 Apa pengertian dan ciri pokok hakikat
HAM?
1.2.2 Bagaimana sejarah dan perkembangan
HAM?
1.2.3 Bagaianakah implementasi HAM dalam
Pancasila?
1.2.4 Bagaimanakah prinsip HAM dalam
sila-sila dari Pancasila?
1.2.5 Bagaimanakan upaya penegakan HAM di
Indonesia?
1.2.6 Bagaimanakah praktik pelanggaran HAM
di Indonesia?
1.2.7 Apa sajakah masalah-masalah yang
dihadapi dalam penegakan HAM?
1.2.8 Bagaimanakah upaya pencegahan
pelanggaran HAM di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
dan Ciri Pokok Hakikat HAM
2.1.1
Pengertian HAM
Hak asasi
manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah
Tuhan yang dibawa sejak lahir. Menurut UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dinyatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatannya, serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Menurut
pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights,
United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah
hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat
hidup sebagai manusia.
John Locke
menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang
Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
Dalam pasal 1
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
HAM memiliki
beberapa ciri khusus, yaitu sebagai berikut:
a.
Hakiki
(ada pada setiap diri manusia sebagai makhluk Tuhan).
b.
Universal,
artinya hak itu berlaku untuk semua orang.
c.
Permanen
dan tidak dapat dicabut.
d.
Tak
dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak.
Perkembangan
tuntutan HAM berdasar tingkat kemajuan peradaban budaya dapat dibagi secara
garis besar meliputi bidang sebagai berikut.
- Hak asasi pribadi (personal rights)
- Hak asasi di bidang politik (politic rights)
- Hak asasi di bidang ekonomi (economic and property rights)
- Hak asasi di bidang sosial budaya (social and cultural rights)
- Hak untuk memajukan ilmu dan teknologi
- Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights)
- Hak asasi di bidang HANKAM (defense and security rights)
2.1.2 Ciri Pokok Hakikat HAM
Berdasarkan
beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri
pokok hakikat HAM yaitu:
1. HAM
tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia
secara otomatis.
2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa
memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul
sosial dan bangsa.
3. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak
seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang
tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi
atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
2.2
Sejarah dan Perkembangan HAM
Sejarah dan
perkembangan mengenai HAM sudah ada dari dahulu, dimulai dari pemikiran –
pemikiran tentang HAM pasca Perang Dunia II yang dibagi ke dalam empat
generasi, yaitu :
1. Generasi
pertama berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan
politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik
disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya
keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib
hukum yang baru.
2. Generasi
kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak
sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua
menunjukan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa
generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi
ketidakseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
3. Generasi
ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan
adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam
suatu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam
pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami
ketidakseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti
pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan
sehingga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang
dilanggar.
4.
Generasi
keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses
pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak
negative seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program
pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara
keseluruhan melainkan memenuhi kebutuhan sekelompok elit. Pemikiran HAM
generasi keempat dipelopori oleh Negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun
1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of the basic Duties of
Asia People and Government
Dari
pemikiran – pemikiran tersebut, nantinya akan menghasilkan hal – hal penting
mengenai perkembangan HAM di dunia. Hal – hal tersebut yaitu :
1. Magna Charta (1215)
Pada
umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa
dimulai dengan lahirnya magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa
raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum,
tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi
kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka hukum (
Mansyur Effendi, 1994 ).
2. Declaration of Independence of The
United States (1776)
Perkembangan
HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of
Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah
dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga
tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
3.
Declaration des Droits de Il ‘Homme et du Ctoyen (1789)
Selanjutnya,
pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis), dimana
ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of
Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang
sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya
orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan
tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
yang menyatakan ia bersalah.
4.
Atlantic
Charter (1941)
Atlantik Charter muncul setelah perang
dunia ke II oleh F.D. Roosevelt. Pada Atlantic Charter terdapat empat hak
kebebasan utama yang harus dimiliki oleh setiap orang tanpa terkecuali, yang
disebut The Four Freedom, yaitu :
a.
Hak untuk memiliki kebebasan berbicara dan menyatakan
pendapat,
b.
Hak untuk memiliki kebebasan memeluk agama dan beribadah
sesuai dengan ajaran agama yang diperlukannya,
c.
Hak untuk memiliki kebebasan dari kemiskinan, yang dapat
diartikan bahwa setiap bangsa berhak untuk berusaha mencapai tingkat kehidupan
yang damai dan sejahtera bagi penduduknya,
d.
Hak untuk memiliki kebebasan dari ketakutan, yang
meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada
dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap negara lain ( Mansyur
Effendi,1994).
5.
Universal
Declaration of Human Rights (1948)
Merupakan deklarasi yang diumumkan
oleh PBB, mengenai hak – hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Deklarasi
ini terdiri dari 30 pasal yang mengatur mengenai hak – hak tersebut.
Sementara itu,
untuk perkembangan HAM di Indonesia dapat digolongkan menjadi :
1.
Pemikiran HAM periode sebelum kemerdekaan yang paling
menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta
mendapatkan perlakukan yang sama hak kemerdekaan.
2.
Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia
telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu :
i. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27
Desember 1949, berlaku UUD 1945
ii. Periode
27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku konstitusi Republik Indonesia
Serikat
iii. Periode 17 Agustus sampai 5 Juli 1959,
berlaku UUD 1950
iv. Periode
5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku Kembali UUD 1945
2.3
Implementasi HAM dalam Pancasila
HAM merupakan salah satu contoh dari
penerapan pancasila sila kedua. Maksudnya disini adalah bagaimana HAM
benar-benar dilaksanakan dan dijunjung tinggi dengan tetap berpegang pada
pernyataan pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Di
dalam kehidupan bangsa, manusia mempunyai kedudukan sebagai warga masyarakat
dan warga negara. Oleh karena itu, mereka berhak untuk memiliki suatu kedudukan
(harkat, martabat, dan drajat) yang sama. Sila kedua pancasila ini mengandung
nilai-nilai kemanusiaan yang mengakui adanya harkat dan martabat manusia,
mengakui bahwa semua manusia adalah bersaudara, mengakui bahwa setiap manusia
berhak diperlakukan secara adil, dan pengakuan bahwa setiap manusia wajib
mengembangkan kehidupan bersama yang semakin berbudaya (beradab).
Atas dasar tersebut, sila kemanusiaan
tidak akan membedakan manusia dalam memperlakukan dan mengakui harkat dan
martabatnya baik karena perbedaan kulit, suku, jenis kelamin, agama, dan
lain-lain. Setiap warga negara diberi kebebasan yang sama, tidak ada perbedaan
apapun misalnya kebebasan memeluk agama. Dalam melaksanakan perintah agama,
diwajibkan saling menghormati. Kita tidak boleh melecehkan agama dan keyakinan
orang lain.
Peraturan pelaksanaan hak asasi
manusia berbentuk peraturan perundang-undangan yang bersumber pada pancasila.
Dalam pelaksanaannya, hak asasi perlu dilindungi dengan pelaksanaan
kewajibannya. Setiap orang mempunyai hak asasi. Sesuai dengan ajaran hak asasi
dalam berbagai peraturan yang berlaku, hak asasi manusia tidak dapat
dilaksanakan secara mutlak sebab kalau dilaksanakan secara mutlak maka akan
melanggar hak asasi orang lain. Jadi batas pelaksanaan hak asasi adalah hak
milik orang lain.
Mertoprawiro (dalam Margono, dkk,
2002: 60) menyatakan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia dalam pancasila harus
selalu ada keserasian atau keseimbangan antara hak dan kewajiban itu sesuai
dengan hakikat kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakatnya. Kedua saling membutuhkan dan mempengaruhi. Keseimbangan tersebut
harus dicapai sehingga dapat memberikan ketenangan dan keberhasilan setiap
manusia.
Oleh karena itu, upaya pemajuan dan
perlindungan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia dilakukan berdasarkan prinsip
keseimbangan. Prinsip keseimbangan mengandung pengertian bahwa diantara Hak-hak
Asasi Manusia perorangan dan kolektif serta tanggung jawab perorangan terhadap
masyarakat dan bangsa memerlukan keseimbangan dan keselarasan. Keseimbangan dan
keselarasan antara kebebasan dan tanggung jawab merupakan faktor penting dalam
pemajuan dan perlindungan Hak-hak Asasi Manusia. Di dalam era globalisasai
sekarang ini, tidak ada negara yang bisa menutup dirinya dari masyarakat
internasional, mengucilkan diri dari komunitas internasional, dan sebaliknya
kalau ingin menjalin hubungan dengan banyak negara, pemerintah yang berkuasa
tidak bisa berbuat sewenang-wenang, sehingga kehilangan kelayakan sebagai suatu
pemerintah. Demikian pula dengan warga negara juga tidak bisa melanggar hukum
dan Hak Asasi Manusia.
Semua pihak, yakni pemerintah,
organisasi-organisasi sosial politik dan kemasyarakatan, maupun berbagai
lembaga-lembaga swadaya masyarakat, serta semua kalangan dan lapisan masyarakat
dan warga negara perlu terlibat dalam penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menegakan Hak
Asasi Manusia di antaranya melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) dan pengadilan HAM, serta Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.
Pemerintah juga memberlakukan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini
merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang Hak Asasi
Manusia. Pembentukan Undang-Undang tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab
bangsa Indonesia sebagai anggota PBB dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Ternyata penegakan Hak Asasi Manusia
masih jauh dari harapan masyarakat. Banyak hambatan dan tantangan dalam
penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Sejarah Indonesia hingga kini
mencatat berbagai penderitaan, kesengsaran, dan kesenjangan sosial. Hal
tersebut disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar
etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan
status sosial lainnya. Kenyataan memang menunjukan bahwa pelaksanaan
penghormatan, perlindungan, atau pengakuan Hak Asasi Manusia masih jauh dari
memuaskan.
Hal tersebut tercermin dari kejadian
berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, pemerkosaan,
penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat
ibadah, penyerangan pemuka agama beserta kelurganya dan sebagainya.
Selain itu, terjadi pula
penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum pejabat publik dan aparat negara. Mereka
yang seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung
rakyat, kadang kala justru mengintimidasi, menganiaya atau bahkan menghilangkan
nyawa rakyat. Adapun hak –hak asasi manusia dapat dibedakan menjadi: (1)
hak-hak asasi pribadi meliputi kebebasan menyatakan pendapat, memeluk agama,
bergerak, dan sebagainya; (2) hak-hak asasi ekonomi yaitu hak untuk memiliki
sesuatu, membeli, dan menjual serta memanfaatkannya; (3) hak-hak asasi politik
yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih, hak untuk mendirikan
partai politik dan sebagainya; dan (4) hak-hak asasi untuk mendapatkan
perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Implementasi HAM dapat dipahami secara
benar maka perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya
HAM dalam kehidupan sosial maupun kehidupan individu yang tercermin dalam sikap
dan perilaku sehari-hari, upaya tersebut harus diupayakan secara terus menerus
ke setiap orang sedini mungkin melalui pendidikan HAM baik pendidikan formal
maupun non formal. Implementasi HAM tidak hanya disadari dengan pikiran tetapi
harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh agar tercipta keseimbangan hidup di
dalam masyarakat.
2.4 Prinsip HAM dalam Sila-sila dari Pancasila
The founding fathers setelah melakukan perenungan yang dalam dan panjang
akhirnya menyepakati, menetapkan serta mengesahkan Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa, dasar dan ideologi Negara pada 18 Agustus 1945. sumber bahan dan nilai Pancasila digali
dari diri bangsa Indonesia sendiri.
Nilai yang
terkandung dalam lima sila Pancasila, menurut Hamid Attamimi (BP-7 Pusat,
1993:69) memiliki fungsi konstruktif dan regulatif. Fungsi konstruktif
mengandung arti bahwa Pancasilalah yang menentukan apakah tata hukum Indonesia
merupahan tata hukum yang benar. Pancasila di sini merupakan dasar suatu tata
hukum, yang tanpa itu suatu tata hukum kehilangan arti dan makna sebagai hukum.
Pancasila juga memiliki fungsi regulatif yang menentukan apakah hukum positif
yang berlaku di Indonesia merupakan hukum yang adil atau tidak.
Bila mengacu
kepada fungsi konstruktif dan regulatif dari Pancasila, maka menjadi catatan
kita bersama bahwa setiap proses perumusan perundang-undangan (termasuk di
dalamnya UU tentang HAM), para perumus harus selalu menjadikan nilai-nilai
universal dan bahkan nilai lokal yang terkandung dalam Pancasila sebagai
acuannya.
Sistem nilai
universal dari Pancasila yang melandasi HAM adalah (a) nilai religius atau
ketuhanan, (b) nilai kemanusiaan, (c) nilai persatuan, (d) nilai kerakyatan,
dan (e) nilai keadilan.
Nilai religius
(ketuhanan) yang diamanatkan dalam sila pertama, dapat dikatakan merupakan
suatu keunikan dalam penyelenggaraan Negara RI dibandingkan dengan
Negara-negara Barat misalnya, yang tentunya berangkat dari kondisi masyarakat
Indonesia sendiri. Ide tentang HAM bagi bangsa Indonesia adalah HAM yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Karena HAM bersumber dari
nilai-nilai ketuhanan sehingga HAM yang dikembangkan tidak menyalahi aturan
yang ditetapkan Tuhan.
Manusia dengan
menempatkan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, maka pada
dasarnya manusia itu, termasuk manusia yang menyelenggarakan kekuasaan tidak
akan berarti apapun dalam kehidupannya tanpa kekuasaanNya, sebab di depan Tuhan
semua manusia sama.
Harkristuti
Harkrisnowo (2002: 5), merinci kerangka pikiran utama yang dapat ditarik dari
sila pertama Pancasila dalam kaitannya dengan HAM (termasuk kaitannya dengan hukum) adalah:
a.
Negara
berkewajiban untuk menjamin hak dan kebebasan dasar pada setiap individu untuk
beragama secara bebas.
b.
Ketentuan
perundang-undangan harus selalu mengacu pada nilai-nilai ke-Tuhan-an yang universal
c.
Semua
individu dalam Negara memiliki hak yang asasi untuk memilih dan menjalankan
ibadahnya sesuai dengan apa yang ia percaya, dan tiada apapun yang dapat
memaksanya untuk memilih dan menjalankan ibadahnya tersebut.
Derivasi dari
asas di atas telah secara tegas dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan bahwa “Negara Republik Indonesia
mengakui dan menjunjung tinggi hak dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang
secara kodrati melekat pada dan tak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan” (Sinar Grafika,
1999; 4). Pemahaman nilai ini di tingkat praksis juga Nampak belum bulat. Hal
ini dapat dilihat dari berbagai tingkat dan bentuk konflik yang terjadi di
beberapa daerah yang masih dilandasi oleh hal-hal yang primordial.
Kemanusaiaan
yang adil dan beradab sebagai sila kedua Pancasila mengandung nilai
kemanusiaan, yaitu pengakuan terhadap adanya martabat manusia dengan segala hal
asasinya yang harus dihormati oleh siapapun, dan perlakuan yang adil terhadap
sesama manusia. Pengertian manusia beradab adalah manusia yang memiliki daya
cipta, rasa, karsa dan iman, sehingga nyatalah bedanya dengan makhluk lain
(Suhadi, 2003: 42). Nilai-nilai kemanusiaan ini merupakan sumber nilai bagi
HAM. Tanpa nilai kemanusiaan, HAM akan mengakibatkan manusia ke luar dari
jatidirinya sebagai manusia. Untuk itu, kemanusiaan yang menjadi ciri khas bangsa
Indonesia adalah berkeadilan dan berkeadaban. Karena itu perwujudan HAM harus
meningkatkan keadilan dan peradaban manusia. Sila kedua Pancasila inilah yang
melandasi sejumlah hak dan kebebasan mendasar bagi seluruh individu yang berada
dalam wilayah Indonesia.
Prinsip yang
terkandung dalam sila kedua Pancasila menjadi landasan untuk berperilaku
terhadap sesama (Harkristuti Harkrisnowo, 2002:8), yang pada dasarnya antara
lain adalah:
a.
Setiap
individu memiliki kebebasan mendasar yang dijamin Negara dan hanya dibatasi
oleh kebebasan orang lain.
b.
Setiap
individu harus diberlakukan sama oleh Negara tanpa melihat asal-usul biologis
maupun sosialnya.
c.
Hak
atas hidup yang berkualitas, hak atas rasa aman dari ancaman, serangan atau
derita apapun dimiliki oleh setiap individu.
d.
Setiap
individu harus dilindungi dan berhak untuk tidak disiksa secara psikis maupun
psikologis dan pejabat publik.
Sila ketiga
pancasila yakni persatuan Indonesia mengandung nilai-nilai persatuan bangsa.
Nilai persatuan yang ada disesuaikan dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an. Nilai
persatuan yang dimaksud adalah kondisi dinamis untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan secara terus menerus dari bangsa Indonesia yang sangat heterogen, baik
dari segi ras, suku, agama, tingkat ekonomi maupun keyakinan politik. Sila ketiga
Pancasila inilah yang membuahkan kerangka pikir, misalnya penghormatan kepada
setiap perbedaan yang ada, penghormatan pada hukum dan masyarakat adat, harmoni
dan keseimbangan.
Kerakyatan
yang dipimpin olah hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan,
sebagai sila keempat pancasila, merupakan asas yang menghasilkan seperangkat
nilai yang menjadi landasan kehidupan sebagai warga Negara dalam pemerintahan,
yang dirumuskan dalam hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Manusia
Indonesia sebagai warga Negara dan warga masyarakat mempuyai kedudukan, hak,
dan kewajiban yang sama. Di dalam menyelesaikan masalah bersama diutamakan
musyawarah dengan melibatkan seluruh komponen ikut berpartisipasi dalam masalah
tersebut.
Pada dasarnya
asas yang dianut dalam sila keempat Pancasila adalah mengutamakan partisipasi
publik yang merupakan salah satu unsur dalam kerangka Good Governance. Implikasinya adalah bahwa dalam proses pengambilan
keputusan, publik harus dilibatkan untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Sila kelima
pancasila di dalamnya terkandung nilai – nilai keadilan sosial, antara lain
berupa (a) perwujudan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat meliputi
seluruh rakyat Indonesia, (b) keadilan dalam kehidupan social terutama meliputi
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, serta pertahanan
keamanan, dan (c) cita-cita masyarakat adil makmur material dan spiritual
secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia, (d) adanya keseimbangan antara hak
dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang lain, dan (e) cinta akan
kemajuan dan pembangunan.
Nilai keadilan
harus menjadi dasar dalam pembangunan HAM karena tanpa keadilan HAM akan
menjadi manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Menjadilah ia
bertindak sewenang-wenang dan melanggar HAM manusia lainnya.
Sila keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung elemen keadilan yang sebenarnya lebih
dari sekedar keadilan menurut hukum (legal
justice). Sila kelima Pancasila ini menurut Harkristuti Harkrisnowo
(2002:10), membawa ke depan sejumlah landasan pikir bagi semua komponen yang
menyangkut antara lain:
a.
Hak
atas pendidikan, pekerjaan, perumahan yang layak bagi setiap insan
b.
Hak
atas keadilan hukum yang didasarkan pada asas persamaan di muka hukum.
c.
Adannya
mekanisme hukum yang memastikan bahwa keadilan diberikan pada setiap insan.
2.5 Upaya Penegakan HAM
Untuk
menjaga penegakkan HAM, maka dibutuhkan suatu lembaga yang memantau proses
penegakkan HAM. Di dalam PBB sendiri terdapat beberapa badan
yang mengatur tentang penegakkan HAM secara internasional. Hal ini membuat
Indonesia membangun suatu mekanisme penegakkan HAM untuk mengawasi proses
penegakkan HAM di Indonesia. Berikut ini adalah lembaga – lembaga (
internasional dan nasional ) yang mengawasi proses penegakkan HAM di dunia
internasional :
1.
Office
of the United Nations High Commissioner for Human Rights
Agen PBB yang
bekerja untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia yang dijamin di
bawah hukum internasional dan ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia 1948
2.
United
Nations Security Council
Salah satu
organ utama Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas memelihara perdamaian dan
keamanan internasional. Kekuasaannya, yang diatur dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, termasuk pembentukan operasi penjaga perdamaian , pembentukan
sanksi internasional, dan memiliki otorisasi tindakan militer. Kekuasaan tersebut telah ditinjau melalui
Resolusi Dewan Keamanan PBB Resolusi.
3.
United
Nations Human Rights Council
Badan antar-pemerintah dalam Sistem
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bertindak sebagai penghubung ke Komisi PBB tentang
Hak Asasi Manusia dan sebagai bagian dari Majelis Umum PBB. Dalam menjalankan
pekerjaannya badan ini bekerja sama dengan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi
Manusia dan melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa
4.
International
Criminal Court
Pengadilan
yang berfungsi untuk menuntut individu-individu yang melakukan tindakan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.
5.
OSCE
Representative on Freedom of the Media
Pengawas dalam bidang perkembangan media
di 56 negara anggota yang berpartisipasi di OSCE ( Organization for Security
and Cooperation in Europe ). Perwakilan akan
memberikan peringatan dini apabila terjadi
pelanggaran kebebasan berekspresi dan akan melanjutkan ke perwakilan
OSCE sesuai dengan prinsip-prinsip dan komitmen tentang kebebasan berekspresi
dan kebebasan pers.
6.
UNESCO
Sebuah badan khusus PBB yang didirikan
pada tanggal 16 November 1945. Bada ini memiliki tujuan untuk memberikan
kontribusi pada perdamaian dan keamanan internasional dengan mempromosikan
melalui kolaborasi pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan budaya dalam rangka mensosialisasikan hormat kepada keadilan, aturan hukum, dan hak
asasi manusia dan kebebasan mendasar seperti yang dinyatakan dalam Piagam PBB.
Badan ini merupakan perwujudan dari Liga Bangsa-Bangsa pada bagian Komisi
Kerjasama dalam bidang Intelektual
Dalam lingkup nasional juga terdapat
beberapa lembaga yang mengawasi proses penegakkan HAM, diantaranya :
1.
Mahkamah Konstitusi
Lembaga
tinggi negara ini dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Menurut Undang – Undang
Mahkamah Konstitusi memiliki tugas sebagai berikut :
a.
Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
b.
Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut UUD 1945.
Perkembangan pengaturan hak asasi manusia di Indonesia
telah dipengaruhi oleh perubahan politik setelah turunnya Presiden Soeharto
tahun 1998. Sidang Istimewa MPR bulan November 1998, misalnya, menghasilkan
Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan disusul dengan
penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan pula dalam
Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945 (tahun 2000), meskipun terdapat
kemiripan rumusan antara hasil amandemen konstitusi dengan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 dan Ketetapan No. XVII/MPR/1998.
Menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945,
negara berkewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak
asasi manusia (rumusan yang dalam instrumen interasional dirumuskan sebagai
kewajiban to protect, to promote, to
implement or enforce and to fulfill human rights). Bagaimana hak asasi
manusia ditegakkan di hadapan ancaman-ancaman kekuasaan yang tak perlu dan
berlebihan, apa lagi yang bersalah-guna (corrupt)?
Dalam kaitan ini penting pula untuk memeriksa mekanisme penyampaian keluhan
publik (public complaints procedure),
peradilan administrasi/tata-usaha negara, peradilan di bawah Mahkamah Agung
(MA), peradilan hak asasi manusia, komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR),
maupun pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah
Konstitusi (MK).
Pada dasarnya, secara strict
wewenang Mahkamah Konstitusi menguji
undang-undang terhadap konstitusi merupakan uji konstitusionalitas
sehingga dikenal sebagai constitutional
review. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, dan berbagai negara, uji
konstitusionalitas itu disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing) bahwa undang-undang yang diuji telah merugikan hak
dan/atau wewenang konstitusional pemohon constitutional review. Rumusan ini
perlu sedikit dijelaskan. Pertama, dirumuskan sebagai “hak dan atau wewenang”.
Wewenang konstitusional lebih terkait dengan kewenangan lembaga negara yang
berhak pula untuk memohon constitutional
review terhadap undang-undang dalam hal suatu undang-undang dinilai
bertentangan dengan konstitusi (dalam hal ini menyangkut kewenangan lembaga
negara pemohon pengujian). Kedua, hak konstitusional lebih dekat dengan jaminan
perlindungan hak asasi manusia bagi warga negara.
Secara kategoris, jaminan hak asasi
manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 mencakup hak-hak sosial-politik, hak-hak
kultural dan ekonomi, hak-hak kolektif, hak atas pembangunan dan lain-lain.
Jaminan hak asasi manusia dalam UUD RI tersebar dalam sejumlah pasal antara
lain 18B (2), 26, 27-28, 28A-28J (Bab XA), 29 (Bab Agama), 31-32 (Bab
Pendidikan dan Kebudayaan), 33-34 (Bab Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial), 30
(Bab Pertahanan dan Keamanan). Jadi, pengaturan konstitusional mengenai hak
asasi manusia tidak terbatas pada Bab XA tentang HAM. Di sini perlu diberikan
catatan tentang perumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pertama, pada umumnya hak tersebut dirumuskan
sebagai hak setiap orang atau individual rights. Hanya beberapa hak saja
yang dirumuskan sebagai hak warga negara, misalnya tentang kesempatan yang sama
dalam pemerintahan, hak dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, dan hak
memperoleh pendidikan (berturut-turut lihat Pasal 28D ayat (3), Pasal 30 ayat
(1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945).
Kedua, perbedaan perumusan ini membawa
implikasi. Perumusan hak asasi manusia sebagai hak perseorangan (individual)
berarti memberi peluang untuk dijamin dalam sistem hukum manapun (berdasarkan
prinsip universalitas hak asasi manusia), meskipun peluang ini dapat terhalang
oleh ketentuan prosedural hukum acara yang hanya memberi akses peradilan
nasional kepada warga negara. Di sisi lain, perumusan hak-hak konstitusional
sebagai hak warga negara hanya terbatas bagi warga negara yang bersangkutan
(bukan sebagai hak semua orang).
Ketiga, meskipun dirumuskan sebagai hak
asasi manusia tetapi pelaksanaan hak konstitusional tertentu memang terkait
dengan hubungan konstitusional (constitutional and political
relations) pemegang hak yang bersangkutan dengan konstitusi dan negara. Ini
mencakup, misalnya, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (equal opprtunity
and treatment) di muka pemerintahan. Sebagai hak asasi manusia, hak seperti
ini hanya dapat dipenuhi kepada warga negara. Begitu pula, “hak konstitusional”
untuk menikmati kewajiban negara dalam menyediakan anggaran pendidikan sebesar
20 persen dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) maupun APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),
merupakan hak warga negara (perhatikan bahwa besaran anggaran merupakan pilihan
politik dan hanya beberapa negara yang menentukan besaran tersebut).
Dalam konteks pemahaman di atas,
beberapa hak telah secara meyakinkan “ditegakkan” (dalam arti dikabulkan)
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang. Beberapa
contoh dikemukakan di sini.
Pertama, hak politik eks-PKI dan tahanan
politik untuk menyalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam Putusan No.
11-017/PUU-I/2003 (pengujian UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD).
Kedua, hak sipil berupa larangan penerapan
Undang-Undang Anti Terorisme 2001 secara retroaktif dalam Putusan No.
013/PUU-I/2003 (pengujian UU No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2
Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme untuk kasus Bom Bali). Hak yang ditegakkan melalui
putusan merupakan hak yang secara konstitusional termasuk kategori “tak dapat
dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun”.
Ketiga, dalam kaitan ini perlu disebut
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 (pengujian UU No. 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Dua hal yang kontradiktif perlu
dicermati dari putusan ini. Pembatalan ketentuan pemberian amnesti terhadap
pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights),
yang terdapat dalam UU KKR 2004, memang sesuai dengan rezim hak asasi manusia
internasional. Tetapi, di sisi lain, keberadaan ketentuan tersebut tidak dengan
cukup menjadi dasar untuk menihilkan keseluruhan UU KKR 2004 maupun makna KKR
dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Keempat, hak sipil dan politik tentang
kebebasan berpendapat dalam kaitan dengan penghinaan terhadap kepala negara di
dalam Putusan No. 013-022/PUUIV/2006 (pengujian Pasal 134, Pasal 136 bis,
dan Pasal 137 KUHP).
Kelima, hak sosial-kultural dalam Putusan
No. 011/PUU-III/2005 (pengujian UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional). Putusan ini membatalkan penjelasan UU Sisdiknas 2003 yang menentukan
bahwa anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN dan APBD dipenuhi secara
bertahap. Tidak semua putusan yang dicontohkan di atas berdampak langsung dalam
kenyataan sosiologis, meskipun putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Legal efficacy putusan sering
ditentukan dalam putusan yang bersangkutan, misalnya hak eks-PKI dan tapol
tidak berlaku meskipun putusan dijatuhkan sebelum Pemilu 2004, dan terutama
karena terdapat ketentuan bahwa undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum
dibatalkan dan dipandang sebagai prinsip bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
tidak bersifat retroaktif.
Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh Perubahan
Ketiga UUD 1945 (tahun 2001) dan baru bekerja sejak akhir tahun 2003,
mekanisme nasional penegakan hak asasi manusia oleh Mahkamah Konstitusi masih
harus ditunggu kecenderungannya. Selain itu, pengujian undang-undang pun belum
merupakan tradisi yang mapan dan kehidupan konstitusional yang baru,
pascaamandemen konstitusi, masih dalam tahap pembentukan.
2.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Komnas HAM
dibentuk melalui Keppres No. 5 Tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993. Enam tahun
kemudian, atau dua tahun setelah pemerintahan Soeharto jatuh, dasar hukum
dirubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih kuat, yaitu Undang –
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini juga
memberi wewenang yang lebih kuat pada lembaga tersebut. Sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 75 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM memiliki mandat
untuk :
1.
Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak
asasi manusia, baik yang ada dalam perangkat hukum nasional maupun Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam PBB,
2.
Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia
guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan
Untuk mencapai tujuan tersebut,
Komnas HAM melakukan empat (4) fungsi
pokok, yaitu :
a.
Pemantauan,
b.
Penelitian/pengkajian,
c.
Mediasi,
d.
Pendidikan
Sejak itu
pelaksanaan empat fungsi tersebut dibagi dalam 4 sub komisi yaitu :
i. Sub
Komisi Pemantauan,
ii. Sub
Komisi Penyuluhan,
iii. Sub
Komisi Pengkajian/Penelitian, dan
iv. Sub
Komisi Mediasi
Dalam hubungan keluar Komnas HAM
bertindak sebagai satu
kesatuan
dan anggota sub komisi dapat bertugas di sub komisi yang lain.
3.
Pengadilan
Hak Asasi Manusia
Pengadian
Hak Asasi Manusia dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan hak asasi manusia,Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan
pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pengadilan umum dan berkedudukan di
daerah Kabupaten atau Kota.Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pengadilan
HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah
Negara Republik Indonesia oleh warga Negara Indonesia.
4.
Pengadilan
HAM Ad Hoc
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc dibentuk atas usul dari DPR berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden untuk memeriksa dan memutuskan
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia
5.
Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 memberikan alternative bahwa penyelesaian pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat dapat dilakukan di luar Pengadilan Hak Asasi Manusia,
yaitu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk berdasarkan
undang-undang.
6.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka
meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (yang selanjutnya akan disebut dengan KPAI) dibentuk untuk
merespon berbagai laporan tentang adanya kekerasan, penelantaran dan belum
terpenuhinya hak-hak dasar anak di Indonesia. Keputusan politik untuk membentuk
KPAI juga tidak dapat dilepaskan dari dorongan dunia internasional. Komunitas
internasional menyampikan keprihatinan mendalam atas kondisi anak di Indonesia.
Banyaknya kasus pekerja anak, anak dalam area konflik, pelibatan anak dalam
konflik senjata (childs soldier) seperti yang terjadi di Aceh, tingginya
angka putus sekolah, busung lapar, perkawinan di bawah umur, trafficking, dan
lain sebagainya telah memantik perhatian komunitas internasional untuk menekan
pemerintah Indonesia agar membuat lembaga khusus yang bertugas memantau kondisi
perlindungan anak di
Indonesia. KPAI memiliki tugas sebagai berikut :
a.
melakukan
sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak,
b.
memberikan
laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka
perlindungan anak.
KPAI terdiri dari 9 orang berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris,
dan 5 anggota yang terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh
masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi,
lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan kelompok masyarakat yang peduli
terhadap perlindungan anak.
7.
Komisi Nasional Perempuan
Institusi hak asasi
manusia yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu hak-hak perempuan sebagai
hak asasi manusia, khususnya isu kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan
didirikan pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998,
sebagai jawaban pemerintah atas desakan kelompok perempuan terkait dengan
peristiwa yang dikenal sebagai tragedi Mei 1998--di mana terjadi perkosaan
massal terhadap perempuan etnis Tionghoa di beberapa daerah di Indonesia. Pada saat
itu, negara dianggap telah gagal memberi perlindungan kepada perempuan korban
kekerasan. Oleh karena itu, negara, dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh
Presiden RI, Habibie, menganggap bahwa negara harus bertanggung jawab kepada
korban dan kemudian melakukan upaya yang sistematis untuk mengatasi kekerasan
terhadap perempuan. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 yang
diperbaharui dalam Peraturan Presiden (PerPres) No. 65 tahun 2005, maka keberadaan
Komnas Perempuan bertujuan untuk :
a.
Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi
perempuan di Indonesia,
b.
Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Dalam mencapai tujuan tersebut,
Perpres No. 65 tahun 2005 meletakkan 5 tugas yang harus dijalankan oleh Komnas
Perempuan, yang meliputi penyebarluasan pemahaman, kajian dan penelitian,
pemantauan, rekomendasi dan kerjasama regional dan internasional dengan
penjabaran sebagai berikut:
1.
Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan (KTP) Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan serta penghapusan segala bentuk KTP,
2.
Melakukan Kajian dan penelitian terhadap berbagai
peraturan perundangundangan yang berlaku serta berbagai instrumen internasional
yang berlaku serta instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak
asasi manusia perempuan,
3.
Melaksanakan pemantauan termasuk pencarian fakta dan
pendokumentasian tentang segala bentuk KTP dan pelanggaran hak asasi manusia
perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan
langkah – langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan,
4.
Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah,
lembaga legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna
mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung
upaya – upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk KTP Indonesia serta
perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia perempuan,
5.
Mengembangkan kerjasama regional dan internasional guna
meningkatkan upaya – upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk KTP
Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia
perempuan.
8.
Komisi Ombudsman Nasional
Terbentuknya
Komisi Ombudsman Nasional tidak didasari secara khusus oleh semangat untuk
melindungi, menegakkan dan memenuhi hak-hak asasi warga negara Indonesia.
Kemunculan Komisi Ombudsman Nasional lebih didasari oleh semangat reformasi
yang bertujuan menata kembali perikehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam
rangka melakukan reformasi birokrasi yang telah mandeg selama puluhan tahun.
Semangat untuk
melakukan reformasi birokrasi inilah yang sangat terasa dan pada saat
dimunculkannya Komisi Ombudsman Nasional sedang menjadi pembicaraan meluas di
kalangan masyrakat. Walaupun tidak serta merta tujuan perlindungan hak asasi
manusia tidak ada, namun secara formal dibentuknya Komisi Ombudsman Nasional
lebih dikarenakan tuntutan reformasi birokrasi. Dilihat dari mekanisme
pertanggung jawabannya, ombudsman dapat dibedakan menjadi :
1.
Ombudsman Parlementer, yaitu Ombudsman
yang dipilih pleh parlemen dan bertanggungjawab (laporan) kepada Parlemen.
2.
Ombudsman Eksekutif, yaitu Ombudsman
yang dipilih oleh Presiden, Perdana Menteri atau Kepala Daerah, dan
bertanggungjawab (laporan) kepada Presiden, Perdana Manteri atau Kepala Daerah.
Komisi Ombudsman, memiliki tujuan :
a.
Membantu menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi yang
kondusif dalam melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
b.
meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar
memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih baik.
Tujuan tersebut diharapkan akan
tercapai dengan cara :
1.
Melakukan sosialisasi dan diseminasi pemahaman mengenai
lembaga Ombudsman kepada masyarakat luas,
2.
Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Instansi
Pemerintah, Perguruan Tinggi, lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi,
Organisasi Profesi dan lain-lain,
3.
Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau
informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggaraan negara dalam
melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum,
4.
Mempersiapkan
konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional.
2.6 Praktik Pelanggaran HAM di Indonesia
Pendekatan pembangunan yang
mengutamakan "Security Approach" selama lebih kurang 32 tahun
orde baru berkuasa "Security Approach" sebagai kunci menjaga
stabilitas dalam rangka menjaga kelangsungan pembangunan demi pertumbuhan
ekonomi nasional. Pola pendekatan semacam ini, sangat berpeluang menimbulkan
pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah, karena stabilitas ditegakan
dengan cara-cara represif oleh pemegang kekuasaan.
Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan
oleh orde baru selama lebih kurang 32 tahun, dengan pemusatan kekuasaan pada
Pemerintah Pusat nota bene pada figure seorang Presiden, telah
mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari penguasaan
para pemimpin negara terhadap rakyat.
Pembalikan teori kedaulatan rakyat ini
mengakibatkan timbulnya peluang pelanggaran hak asasi manusia oleh negara dan
pemimpin negara dalam bentuk pengekangan yang berakibat mematikan kreativitas
warga dan pengekangan hak politik warga selaku pemilik kedaulatan, hal ini
dilakukan oleh pemegang kekuasaan dalam rangka melestarikan kekuasaannya.
Kualitas pelayanan publik yang masih
rendah sebagai akibat belum terwujudnya good governance yang ditandai
dengan transparansi di berbagai bidang. akuntabilitas, penegakan hukum yang
berkeadilan dan demokratisasi. Serta belum berubahnya paradigma aparat pelayan
publik yang masih memposisikan dirinya sebagai birokrat bukan sebagai pelayan
masyarakat, hal ini akan menghasilkan pelayanan publik yang buruk dan cenderung
untuk timbulnya pelanggaran hak asasi manusia.
Konflik Horizontal dan Konflik
Vertikal telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi
manusia baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat.
Pelanggaran terhadap hak asasi kaum
perempuan masih sering terjadi, walaupun Perserikatan Bangsa- Bangsa telah
mendeklarasikan hak asasi manusia yang pada intinya menegaskan bahwa setiap
orang dilahirkan dengan mempunyai hak akan kebebasan dan martabat yang setara
tanpa membedakan; ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan
jenis kelamin. Namun faktanya adalah bahwa instrumen tentang hak asasi manusia
belum mampu melindungi perempuan.
2.7
Masalah yang Dihadapi dalam Penegakan
HAM
Masalah HAM merupakan masalah yang
kompleks, setidak-tidaknya ada tiga masalah utama yang harus dicermati dalam
membahas masalah HAM, antara lain: Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang
hangat dibicarakan, karena (1) topik HAM merupakan salah satu di antara tiga
masalah utama yang menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan
itu antara lain: HAM, demokratisasi dan pelestarian lingkungan hidup. (2) Isu
HAM selalu diangkat oleh media massa setiap bulan Desember sebagai peringatan
diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember
1948. (3) Masalah HAM secara khusus kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral
antara negara donor dan penerima bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk
penekanan secara ekonomis dan politis.
Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik
ulur antara paham universalisme dan partikularisme. Paham universalisme
menganggap HAM itu ukurannya bersifat universal diterapkan di semua penjuru
dunia. Sementara paham partikularisme memandang bahwa setiap bangsa memiliki
persepsi yang khas tentang HAM sesuai dengan latar belakang historis
kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan memiliki ukuran dan kriteria
tersendiri.
Ketiga, Ada tiga tataran diskusi
tentang HAM, yaitu (1) tataran filosofis, yang melihat HAM sebagai prinsip
moral umum dan berlaku universal karena menyangkut ciri kemanusiaan yang paling
asasi. (2) tataran ideologis, yang melihat HAM dalam kaitannya dengan hak-hak
kewarganegaraan, sifatnya partikular, karena terkait dengan bangsa atau negara
tertentu. (3) tataran kebijakan praktis sifatnya sangat partikular karena
memperhatikan situasi dan kondisi yang sifatnya insidental.
Pandangan bangsa Indonesia tentang Hak
asasi manusia dapat ditinjau dapat dilacak dalam Pembukaan UUD 1945, Batang
Tubuh UUD 1945, Tap-Tap MPR dan Undang-undang. Hak asasi manusia dalam
Pembukaan UUD 1945 masih bersifat sangat umum, uraian lebih rinci dijabarkan
dalam Batang Tubuh UUD 1945, antara lain: Hak atas kewarganegaraan (pasal 26
ayat 1, 2); Hak kebebasan beragama (Pasal 29 ayat 2); Hak atas kedudukan yang
sama di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1); Hak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28); Hak atas pendidikan
(Pasal 31 ayat 1, 2); Hak atas kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33
ayat 3, Pasal 34). Catatan penting berkaitan dengan masalah HAM dalam UUD 1945,
antara lain: pertama, UUD 1945 dibuat sebelum dikeluarkannya Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, sehingga
tidak secara eksplisit menyebut Hak asasi manusia, namun yang disebut-sebut
adalah hak-hak warga negara. Kedua, Mengingat UUD 1945 tidak mengatur ketentuan
HAM sebanyak pengaturan konstitusi RIS dan UUDS 1950, namun mendelegasikan
pengaturannya dalam bentuk Undang-undang yang diserahkan kepada DPR dan
Presiden.
Masalah HAM juga diatur dalam
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Pada bagian
pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia, terdiri dari
pendahuluan, landasan, sejarah, pendekatan dan substansi, serta pemahaman hak
asasi manusia bagi bangsa Indonesia. Pada bagian Piagam Hak Asasi Manusia
terdiri dari pembukaan dan batang tubuh yang terdiri dari 10 bab 44 pasal. Pada
pasal-pasal Piagam HAM ini diatur secara eksplisit antara lain:
1. Hak untuk hidup
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan
3. Hak mengembangkan diri
4. Hak keadilan
5. Hak kemerdekaan
6. Hak atas kebebasan informasi
7. Hak keamanan
8. Hak kesejahteraan
- Kewajiban menghormati hak orang lain dan kewajiban membela negara
10. Hak perlindungan dan pemajuan.
2.8
Upaya Pencegahan Pelanggaran HAM di
Indonesia
1. Pendekatan Security yang
terjadi di era orde baru dengan mengedepankan upaya represif menghasilkan
stabilitas keamanan semu dan berpeluang besar menimbulkan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh terulang kembali, untuk itu supremasi
hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan hukum dan dialogis harus
dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
2. Sentralisasi kekuasaan yang terjadi
selama ini terbukti tidak memuaskan masyarakat, bahkan berdampak terhadap
timbulnya berbagai pelanggaran hak asasi manusia, untuk itu desentralisasi
melalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan, otonomi daerah sebagai
jawaban untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus
ditindaklanjutkan dan dilakukan pembenahan atas segala kekurangan yang terjadi.
3. Reformasi aparat pemerintah dengan
merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan cara mengadakan
reformasi di bidang struktural, infromental, dan kultular mutlak dilakukan
dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan public untuk mencegah
terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah.
4. Perlu penyelesaian terhadap berbagai
Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal di tanah air yang telah melahirkan
berbagai tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia baik oleh sesama
kelompok masyarakat dengan acara menyelesaikan akar permasalahan secara
terencana, adil, dan menyeluruh.
5. Kaum perempuan berhak untuk menikmati
dan mendapatkan perlindungan yang sama bagi semua hak asasi manusia di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan bidang lainnya, termasuk hak untuk
hidup, persamaan, kebebasan dan keamanan pribadi, perlindungan yang sama
menurut hukum, bebas dari diskriminasi, kondisi kerja yang adil. Untuk itu
badan-badan penegak hukum tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap perempuan,
lebih konsekuen dalam mematuhi Konvensi Perempuan sebagaimana yang telah
diratifikasi dalam Undang-undang No.7 Tahun 1984, mengartikan fungsi Komnas
anti Kekerasan Terhadap Perempuan harus dibuat perundang-undangan yang memadai
yang menjamin perlindungan hak asasi perempuan dengan mencantumkan sanksi yang
memadai terhadap semua jenis pelanggarannya.
6. Anak sebagai generasi muda penerus
bangsa harus mendapatkan manfaat dari semua jaminan hak asasi manusia yang
tersedia bagi orang dewasa. Anak harus diperlakukan dengan cara yang memajukan
martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka berintraksi di dalam
masyarakat, anak tidak boleh dikenai siksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam
dan tidak manusiawi, pemenjaraan atau penahanan terhadap anak merupakan tindakan
ekstrim terakhir, perlakuan hukum terhadap anak harus berbeda dengan orang
dewasa, anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam rangka menumbuhkan
suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan anak berkembang secara normal
dan baik, untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikan perlindungan hak
asasi anak, setiap pelanggaran terhadap aturan harus ditegakan secara
professional tanpa pandang bulu.
7. Supremasi hukum harus ditegakan,
sistem peradilan harus berjalan dengan baik dan adil, para pejabat penegak
hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya dengan
memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat pencari keadilan,
memberikan perlindungan kepada semua orang dari perbuatan melawan hukum,
menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakan hukum.
8. Perlu adanya kontrol dari masyarakat (Social
control) dan pengawasan dari lembaga politik terhadap upaya-upaya penegakan
hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
- Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Ciri pokok hakikat HAM yaitu HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi, HAM berlaku untuk semua orang, dan HAM tidak bisa dilanggar.
- Hal – hal penting mengenai perkembangan HAM di dunia, seperti magna charta, Declaration of Independence of The United States, Declaration des Droits de Il ‘Homme et du Ctoyen, Atlantic Charter, Universal Declaration of Human Rights, ternyata dihasilkan dari pemikiran-pemikiran mengenai perkembangan HAM terdahulu yang dibagi ke dalam empat generasi.
- HAM merupakan salah satu contoh dari penerapan pancasila sila kedua. Hak asasi manusia dalam pancasila harus selalu ada keserasian atau keseimbangan antara hak dan kewajiban itu sesuai dengan hakikat kehidupan manusia.
- Prinsip HAM dilandasi oleh system nilai universal dalam Pancasila yaitu (a) nilai religius atau ketuhanan, (b) nilai kemanusiaan, (c) nilai persatuan, (d) nilai kerakyatan, dan (e) nilai keadilan.
- Upaya penegakan HAM dilaksanakan oleh lembaga internasional maupun lembaga nasional. Lembaga internasional misalnya Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, United Nations Security Council, United Nation Human Rights Council, International Criminal Court, dll. Dan lembaga nasional misalnya Mahkamah Konstitusi, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, dll.
- Pelanggaran HAM di Indonesia masih sering terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa instrumentasi tentang HAM belum mampu melindung warga Negara.
- Masalah utama yang dihadapi dalam penegakan HAM yaitu HAM merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, HAM sarat dengan masalah tarik ulur antara paham universalisme dan partikularisme, serta ada tiga tataran diskusi tentang HAM.
- Upaya pencegahan pelanggaran HAM di Indonesia dilaksanakan dengan pendekatan security, desentralisasi melalui otonomi daerah, penegakan supremasi hukum, kontrol dari masyarakat (Social control), dll.
3.2
Saran
Dengan demikian, segala hal yang berkaitan
dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, bahkan moral negara, politik
Negara, pemerintahan Negara, hokum dan peraturan perundang-undangan Negara,
kebebasan dan hak asasi warga Negara, harus dijiwai dengan nilai-nilai
Pancasila dan sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan
memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati
dan menjaga HAM orang lainjangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan
jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan diinjak-injak oleh orang lain.
Diharapkan juga kepada pemerintah dan instansi yang berkaitan dengan
perlindungan HAM dapat menentukan dan menetapkan kebijakan sesuai sesuai dengan
kondisi Indonesia saat ini. Dalam menentukan kebijakan perundang-undangan
jangan hanya melihat satu sisi saja. Karena terkadang undang-undang tentang HAM
yang berkaitan saat ini tidak mampu memberikan bantuan yang berarti bagi
orang-orang yang tertindas.
Daftar pustaka
Hidayat, komaruddin, 2008. Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education),
Jakarta: KENCANA PERDANA MEDIA GROUP
Widjaja, 2000. Penerapan Nilai-Nilai
Pancasila dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta: RINEKA CIPTA
terimakasih banyak buat artikelnya...sangat membantu sekali dalam mengerjakan tugas makalah saya..:)
ReplyDeleteI like
ReplyDeletegood
ReplyDeleteartikel yang sangat membantu.. :)
ReplyDeletesukses selalu untuk yang punya blog ini.
semoga dibalas oleh Tuhan YME :) :)
izin copas.
ReplyDelete